Kamis, 10 Maret 2011

AL HALLAJ DALAM KARYA JAVID NAMA
Oleh: Muzairi

A.    Tasauf dalam Islam

Pada abad ke-8 dan ke-9 tasawuf mulai dinyatakan sebagai suatu sistem ajaran, ialah dalam tulisan-tulisan Rabiah Al-Adawiyah dari Basra, seorang penyair sufi yang meninggalkan karya tulis. Ajarannya menitikberatkan pada dokrin mahabbah untuk mencapai makrifat.[1]
Tasawuf adalah ajaran mistik yang disesuaikan dengan ajaran islam.[2] Dalam filsafat agama, penghayatan mistik dipandang  sebagai salah satu sumber untuk menumbuhkan keyakinan agama, di samping kesadaran akan adanya kejadian-kejadian yang luar biasa. Ditinjau dari segi filsafat, mistik merupakan upaya yang mencerminkan hasrat jiwa manusia yang ingin mengenal dan mendapatkan kesadaran langsung dari kebenaran mutlak dan dari yang transenden.[3] Kerinduan akan penghayatan langsung terhadap Kebenaran Hakiki muncul sewaktu orang menyadari bahwa segala kelezatan hidup duniawi dirasakan sangat relatif, tidak dapat memenuhi tuntutan untuk meraih kehidupan yang hakiki serta kekal. Di samping itu penghayatan mistik juga muncul kalau seseorang  merasa tidak puas dengan pengertian-pengertian konseptual tentang Tuhan seperti yang dianutnya dan oleh kepercayaan tradisional yang diwariskan oleh masyarakat.
Pada satu aspek pertumbuhan dan perkembangan tasawuf bisa dipandang sebagai reaksi dari perkembangan pemikiran Isalm yang rasional, sebagai pemanfaatan pengaruh filsafat Yunani, yang pada taraf awalnya memunculkan ilmu kalam dalam Islam, dan membawa masuk ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, astronomi, ilmu kimia dan lain-lainnya. Perkembangan ini ternyata membawa dampak, bahwa umat lalu kurang memperhatikan aspek emosional dan membawa perhatian masyarakat kepada arus keduniaan dan menyebabkan mundurnya nilai-nilai moeal mereka. Reaksi terhadap fenomena ini pertama-tama diungkapkan oleh Hasan Basri (abad ke-8), yang membangkitkan kembali hidup zuhud (asketik), kemudian dilanjutkan dengan ajaran Ibrahim, Ibn Adham. Ajaran yang sudah mengarah kepada paham tasawuf ini kemudian disusun  dalam doktrin mahabbah oleh Rabiah Al-Adawiyah, seperti telah diungkapkan  di depan, dan kemudian disempurnakan Haris bin Asad Al-Muhasibi (wafat tahun 857 atau sudah masuk dalam abad  ke-9.[4] Adawiyah membagi doktrin mahabbah atau ajaran untuk mencintai Tuhan secara mutlak dalam dua babak. Cinta tingkat pertama untuk membukakan dimensi baru dalam ibadah  kepada Allah, yaitu ibadah yang semata-mata karena cinta kepada Tuhan, bukan karena mengharapkan pahalanya atau menghindari siksanya, atau bukan karena raja’ atau khauf. Cinta tingkat kedua adalah rindu bertemu dengan wajah Tuhan, sebagai kekasihnya. Dengan cinta tahap kedua ini diharapkan Tuhan membukakan hijab atau tabirnya hingga betul-betul dapat melihat wajahnya, bukan melihat dengan  mata akan tetapi melihat dengan mata hatinya atau kasyf. Ajaran ini betul-betul mengarah kepada sikap yang ekstrim emosional dan ruhaniah. Oleh Abu Yazid Al-Bistami (abad ke-9) ajaran ini dikembangkan menjadipaham ittihad (kesamaan dan kesatuan manusia dengan Tuhan) ajaran yang sudah mulai cenderung kepada paham panteisme[5] dengan ucapannya”laisa fi jubbati illa Allah” yang artinya “yang ada di dalam jubahku ini tidak lain adalah Allah”. Paham ini dipandang memuncak dalam ajaran Al-Hallay (abad ke-10), yang terang-terangan mengungkapkan “Anna Al-Hagg” yang artinya “Saya adalah Tuhan”.[6]
Timbulnya pendapat-pendapat atau ajaran baru ini menyebabkan kegoncangan karena berlawanan dengan ajaran tauhid seperti yang digariskan dalam Al-Qur’an.
Upaya untuk membentuk keselarasan pengamalan tasawuf dengan syariat telah dilakukan oleh Al-Gazali dan berhasil menyelamatkan tasawuf sebagai suatu aliran dalam Islam, sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam pada saat itu. Tulisan Al-Gazali berjudul “Ihya ulumuddin” merupakan buah pikirannya yang nyata dapat membedakan berbagai perbedaan pendapat mengenai  tasawuf, yang hampir memecah belah persatuan umat Islam. Kehidupan Al-Gazali pada abad ke-11 dan 12, (meninggal tahun 1111).[7]
Pada abad ke-12 muncul lagi perkembangan tasawuf yang dibawakan oleh Ibn Al-Farabi (1165-1240), seorang ahli filsafat dan penyair sufi, kelahiran Mursia. Ajarannya dipandang panteistis, karena memandang Tuhan sebagai Dzat yang bersatu dengan alam, dan Tuhan juga sebagai Dhat yang tertinggi. Pengaruh ajarannya besar sekali di kalangan para sufi hingga dia diberi gelar Asy-Syaikh Al-Akbar.
Perkembangan tasawuf selanjutnya diwarnai oleh pemikiran yang timbul dikalangan sufi dari Persi. Pada dasarnya mereka mengembangkan ajaran Ibn Al-Arabi (Nicholson, 1952:228). Diantara sufi dari Persi yang terkenal adalah Jalaluddin Ar-Rumi yang menulisklan paham tasawufnya dalam karangannya berjudul “Mathnawi I Ma’nawi”. Bagi para pengikutnya, ialah pengikut tarikat Maulawiyah yang didirikannya.


B.     Al-Hallaj dalam Karya Javid Nama

Bait-bait awal dalam Javid Nama menyinggung tentang kehidupan di planet-planet lain. Kesunyian sang penyair dalam hidupnya di dunia wadag ini, dan potensi manusia (yang hanya berasal dari segenggam debu) untuk mencapai tujuannya dan melebihi seluruh ciptaan. Kemudian Rummi muncul, dan menerangkan relasi kehidupan dan kematian, serta menerangkan iqbal tentang ruang dan waktu serta cara mengatasi keduanya.[8] Kemudian ditemani oleh gurunya Iqbal naik ke bulan di bulan ini mendengarkan musik dan bertemu dengan orang bijak dari India yaitu Vashwamitna, antara Rummi dengan Vashwamitna terjadi diskusi tentang alam, manusia dan Tuhan.
Dari bulan kemudian ke lembah Tawasin yang di dalamnya ada empat bagian, tawasin Budha, Zoroaster, Yesus dan Muhammad, di lembah tersebut memungkinkan Iqbal menyatakan pandangannya terhadap ajaran-ajaran mereka.[9] Kemudian ke Mercurius bertemu dengan dua ruh pemikir Islam yaitu Said  Shalim Pasha seorang dari Turki dan Jamaluddin Afghani, Said Shalim Pasha menerangkan kepada Iqbal tentang perbedaan pandangan hidup Barat dan Timur dan menurutnya  keselamatan manusia terletak pada kemampuannya dalam memadukan antara peradaban Barat dan Timur.[10] (di Barat intelek sebagai sumber hidup, di Timur cinta sebagai dasar hidup). Sedangkan Jamaluddin Afghani menerangkan pentingnya suatu tatanan dunia lama yang berlandaskan kepada Al-Qur’an, serta bahaya kominisme dan imperialisme.[11]
Di Venus Iqbal bertemu dengan para dewa pagan kuno, seperti Baal, sedang merayakan kebangkitan penyembahan berhala di dunia modern. Acara ini dihadiri oleh para Lord Kitchener dan Firaun yang menentang Musa, yang dianggap wakil-wakil pemujaan berhala kuno dan modern.
Dalam perjalanan selanjutnya, Iqbal bersama gurunya sampai ke Mars, dia bertemu dengan astronom berbahasa Persia dan mengajak mereka ke lembah Milad, suatu lembah yang digambarkan “tata tentram karta raharja, gemah ripah loh jinawi”. Disamping itu mereka bertemu dengan seorang nabi perempuan palsu. Perjalanan selanjutnya ke Yupiter bertemu dengan setan, dengan roh Mansur Al-Hallaj, Ashadula Khan Ghalib.[12] Seorang sastrawan dari Persia dengan  Qurrotul Ain Tahiro ketiganya adalah roh suci, meskipun terbilang suci ketiga roh itu tidak tinggal di surga, mereka lebih suka mengembara, Iqbal bertanya:
Kenapa tuan-tuan tidak tinggal di surga bersama mukmin yang lain ? tanya Iqbal ! “Manusia bebas seperti kami”, jawab salah satunya, “tak mungkin ruh nya ditempatkan di surga Surga para Kiai adalah anggur, surga para mullah ialah makan, tidur dan bernyanyi, surga kami merenungi hidup ini”.[13]
Roh yang menjawab pertanyaan Iqbal adalah roh Al-Hallaj, sufi terkenal yang dihukum mati di Baghdad semasa pemerintahan Al-Muqtadir di abad X Masehi. Ia dipersalahkan telah mengajarkan pengertian-pengertian fana fillah dan anal haq di hadapan umum.[14]
Perjalanan sang penyair sampai ke Saturnus di sini Iqbal melihat para roh pengkhianat seperti Sirajul Daula, Sodiq, dari Saturnus singgah di lembah Empirin. Di lembah itu pertama-tama yang dijumpai adalah roh Niedtsche sang filosof eksistensialis dari Jerman.[15] Iqbal melihat Niedtsche yang sedang kesepian. Namun Iqbal melihatnya sebagai orang bijak pencari kebenaran yang bersemangat, yang nasib buruknya lahir di zaman modern dan bukan masa para nabi. Setelah berjumpa dengan Niedtsche terus ke surga, dunia tanpa apa-apa, di surga Iqbal bertemu dengan Sharfun Nisa keponakan Abdus Somad seorang gubernur Punjab.[16] Kemudian Iqbal bertemu dengan Sayed Ali Hamdani seorang suci dari Kasmir dan Tahir Gani seorang penyair dari Kasmir juga, bertemu dengan roh Bhartrihari, Nadirshah dari Persia dan para Perawan Surga. Akhirnya Iqbal sampai puncahnya ketika perjalanan berakhir dengan terserapnya keagungan dan keindahan Illahi dalam kontemplasi.
Suatu ungkapan yang cukup unik oleh Iqbal, bahwa al-Hallaj sebagai roh suci  yang tidak tinggal di surga menunjukkan penilaian tertentu Iqbal terhadap Al-Hallaj dan nampaknya Iqbal tertarik oleh nasib Al-Hallaj, sejak namanya pertama-tama terungkap dalam sumber-sumber Arab.[17] Setelah sarjana Inggris Edward Pocock (1691), yang menaruh perhatian padanya adalah seorang ahli teolog Protestan dariJerman F.A.D. Tholuck, sarjana itu menyebut Al-Hallaj “sufi yang paling terkenal karena ketenaran dan nasibnya”, yang menguak cadar Pantheisme di depan umum dengan keberanian yang luar biasa.
Tholuck menganggap Al-Hallaj seorang panteis; hal itu menjadi pandangan para sarjana abad ke-19, dan sampai taraf tertentu masih menjadi pandangan yang diterima oleh sejumlah  ahli teologi.[18] Beberapa diantara mereka menuduh Al-Hallaj menghujat Tuhan, sedangkan yang lainnya menuduh Al-Hallaj seorang Kristen rahasia. Pandangan terakhir ini muncul pada  akhir abad ke-19, diajukan oleh August Muller dan tetap diikuti oleh beberapa Sarjana. Para orientalis lain, berdasarkan sumber-sumber yang ada, cenderung menyebutkan seorang berpenyakit syaraf atau seorang monis murni. Alfred Von Kremer berusaha mencari sumber ungkapan Al-Hallaj yang terkenal “Annal Hagg” dalam sumber-sumber India, dan Max Horten membandingkan pernyataan mistik itu dengan Aham Brahasmi dalam Upanisad,[19] dan beberapa sarjana lain menyetujuinya. Max Shreiner dan Duncan Black Macdonald menganggap Al-Hallaj seorang ateis sejati, sedangkan Reynold A. Nicholson mempunyai pandangan yang  bertentangan, yakni menekankan monotheisme keras dan hubungannya yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam pemikiran Al-Hallaj.[20] Akhirnya Adam Mez melihat kemungkinan adanya hubungan antara sufi agung dengan teolog kristen.
Berkat kerja keras Louis Massignon, lingkungan dan pengaruh-pengaruh atas Al-Hallaj telah dijelajahi sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih baik di barat. Di dunia Arab, tempat Al-Hallaj tidak begitu dikenal  seperti di daerah-daerah yang dipengaruhi oleh tradisi mistik Parsi, akhir-akhir ini ia mendapat perhatian. Filosof ‘Abdur-Rahman Badawi menyamakan pengalaman Mansur dengan Kierkegaard, dan menganggapnya seorang eksistensislis murni. Para penyair seperti Adonis di Lebanon dan ‘Abdul Wahhab Al-Bayati di Irak telah menulis dengan cermat rahasia kepribadiannya; dan seorang sosialis  dari Mesir, Salah ‘Abdu’s-Sabur, menulis suatu tragedi Al-Hallaj.
Pada zaman kita ini, timbul suatu minat yang diperbaharui terhadap Hallaj di seluruh dunia Islam, terutama berkat buku menyeluruh yang ditulis massignon. Muhammad Iqbal (.1938), yang dalam masa mudanya menggambarkan Al-Hallaj sebagai Pantheis-seperti yang telah dilihatnya lewat sajaknya, “jangan berbicara tentang Shamkara dan Mansur”.[21] Iqbal juga menggambarkan bahwa pernyataan Anal Haqq dengan “Aham Brahma Asmi”, dan menggambarkan Upanisad serta shamkara termasuk “Misticism of Infinity”[22] dalam arti yang murni.
Akan tetapi pandangan Iqbal berubah setelah bertemu dengan Massignon dan Maulana Alam Jairaypuri, Iqbal melihat di dalam diri Hallaj adanya keterlibatan religius pribadi yang mendalam, dan menganggapnya salah seorang  diantara beberapa orang saja yang mencapai pengalaman Illahi yang lebih tinggi dari pada rakyat biasa. Ia melihat bahwa Al-Hallaj telah mengajak para muslim yang terlena agar secara pribadi menyadari kebenaran, dan karenanya bertentangan dengan penguasa agama yang khawatir akan adanya saksi yang bersemangat akan Tuhan yang sebenar-benarnya.
Kemudian pandangan tersebut diperjelas oleh Iqbal ketika ia memberikan ceramahnya di Madras pada tahun 1928, ia mengatakan sebagai berikut:
Aliran sufi sajalah yang mencoba memahami arti pernyataan pengalaman batin, yang disebutkan Qur’an sebagai salah satu dari tiga sumber pengetahuan, dengan sejarah dan alam sebagai kedua sumber lainnya. Pengembangan pengalaman ini dalam kehidupan agama Islam mencapai puncaknya di dalam kata-kata Al-Hallaj yang terkenal “Akulah kebenaran yang kreatif”. Orang-orang yang sejaman dengan Hallaj, sebagaimana juga penggantinya menafsirkan kata-kata ini secara Pantheistik; tetapi fragmen-fragmen dari karya Al-Hallaj, yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh orientalis Perancis Massignon memberikan kesan yang tak dapat diragukan lagi bahwa shahid dan orang suci ini tidak mungkin membantah bahwa Tuhan adalah transenden, karena itu, penafsiran yang benar ialah bahwa pengalaman bukan ibarat tetesan yang jatuh  ke lautan, tetapi adalah realisasi dan peneguhan yang diucapkan dalam sebuah kalimat abadi, mengenal realitas dan tetapnya ego manusia di dalam suatu pribadi yang  lebih mendalam. Kalimat Al-Hallaj itu hampir-hampir merupakan tantangan keras terhadap kaum Mutakallimin. Kesukaran yang dihadapi orang-orang yang mempelajari agama secara modern adalah bahwa macam pengalaman ini, walaupun mungkin pada mulanya cukup normal, dalam fasenya yang matang merujuk kepada tingkatan kesadaran yang belum diketahui. Ratusan tahun yang lalu Ibnu Khaldun telah merasakan pentingnya suatu cara ilmiah yang efektif untuk meneliti tingkatan-tingkatan ini.[23]
Konon Napoleon pernah berkata-“Aku adalah benda bukan person”, ini adalah suatu cara dimana pengalaman yang mempersatukan dapat menyatakan dirinya. Dalam pengalaman ‘religius dalam Islam menurut Nabi, merupakan penciptaan sifat-sifat uluhiat dalam diri manusia’. Pengalaman ini telah menemukan pernyataan dalam kalimat-kalaimat semacam ‘Aku adalah kebenaran kreatif (Al-Hallaj), ‘Akulah Waktu’ (Muhammad), ‘Akulah Qur’an yang berkata-kata (Ali), ’Muliakanlah Daku’ (Ba Yazid). Di dalam sufisme Islam yang bertingkat lebih tinggi pengalaman yang mempersatukan itu bukanlah ego-terbatas yang mengatasi identitasnya sendiri dengan semacam peleburan ke dalam ego tak terbatas, melainkan yang tak terbataslah yang  masuk ke dalam pelukan kasih sayang yang terbatas.[24]
Al-Hallaj, seperti yang dikatakan Hans Heinrich  Schoder dalam resensinya atas buku Massignon, adalah Syuhada dalam par exellence karena ia merupakan contoh kemungkinan-kemungkinan terdalam dari kesalehan pribadi yang ada dalam agama Islam. Ia menunjukkan akibat cinta semprna dan makna kesummarahan pada penyatuan kekasih Illahi tidak dengan maksud mendapatkan kesucian pribadi macam apapun tetapi agar bisa mengkotbahkan rahasia ini, hidup di dalamnya dan mati untuknya.
Ungkapan tersebut di atas memberi pegangan bahwa di dalam tradisi tasawuf kadang-kadang orang tidak dihadapkan dengan teori-teori filsafat, akan tetapi bertemu dengan pernyataan-pernyataan yang langsung atau tidak langsung dengan penghayatan mistik (Mystical Experience).
Penghayatan mistik pada dasarnya adalah irrasional dan mengutamakan perasaan atau penghayatan (zauq, rahsa). Penghayatan mistik sewaktu mengalami ecstasy (fana’) ini menurut Willian James dalam The Varieties of Religious Experience[25]  ditandai dengan empat ciri. Pertama transiency (waqtiyah). Yakni penghayatan ectasy (fana’) itu hanya berlangsung sementara waktu, antara setengah sampai dua jam paling lama. Jadi manusia bisa menghayati kesatuan dengan Tuhan hanya sebentar, kemudian sadar kembali dan merasa sebagai makhluk yang lemah. Yang kedua passivity (salbiyah). Yakni pada waktu fana’ itu para sufi merasa dikuasai dan digerakkan oleh kekuatan dari atas, kehendaknya jadi lenyap atau harus dihentikan bahkan dalam puncak penghayatan mistik kesadaran kediriannya terhisap dalam kesadaran serba Tuhan. Yakni mengalami fana’ al-fana’. Yang ketiga, noetic quality (al-qimat al-tajridiyah). Dalam arti “They are states of insight into depths of truth unplumbed by the discursive intelect” yaitu merekamerasa menghayati hakekat yang mendalam yak tak dicampuri penalaran (intelek). Oleh karena itu ciri yang keempat adalah innefability (al-isti’sha’u ala al-washfi). Yakni sulit tak sisifati (diterangkan dengan rumusan kata-kata).
Seperti kata Ali Al-Hujwiri, juga ulama sufi yang dilakukan dan dikatakan seorang sufi tak bisa ditafsirkan secara dangkal. Hakekat kenyataan yang dihayati sang sufi “tak mungkin diungkapkan dalam bahasa yang biasa”. Setidak-tidaknya percobaan untuk itu tak menampilkan makna yang dimaksud  dan karena itu dapat  menimbulkan salah paham. Atau seperti yang dikatakan Iqbal sendiri, bahwa pengalaman religius adalah tidak dapat dikomunikasikan tidaklah berarti bahwa pencarian manusia religius sia-sia. Sesungguhnya sifat tidak dapat dikomunikasikan  itu memberikan kita kunci untuk membuka kodrat azasi ego.


C. PENUTUP

Memang ada gunanya membahas dan membicarakan Al-Hallaj terutama ungkapan Ana Al-Haqq yang dapat dikutip oleh setiap orang yang terpelajar tidak hanya di pusat agama Islam melainkan juga di daerah perbatasannya, yakni di Indonesia. Namun masih ada alasan lain mengapa tokoh ini pantas dibahas dalam sebuah telaah seperti ini, yaitu kemungkinan a priori bahwa riwayat hidup dan ajarannya lebih banyak berpengaruh terhadap Islam di Indonesia dari pada di tempat lain.[26]
Tidaklah di zaman ini diperlukan dialektik antara kecenderungan “gerakan masa” dengan kecenderungan yang sehat dari Sufisme yang menekankan makna “pribadi” dalam hubungan kita dengan Tuhan. ?
Setidak-tidaknya karena di depanNya kita tidak mempertanggungjawabkan secara massal. “Kamu akan datang kepada Kami : satu-satu” seperti “Kami ciptakan kamu dahulu” (Al-Qur’an)




[1] Lihat Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (Caphel Hill University of North Caroline Press, 1975), hal. 23-30.
[2] Ibid. hal 3-5
[3] Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York: Barnes & Nobel Books, 1977) hal: 181.
[4] Hamka, Perkembangan Tasauf Dari Abad ke Abad (Jakarta, Pustaka Islam, 1966). hal. 66-74
[5] Ibid, hal. 91-93
[6] Husain bin Mansur Hallaj, Kitab Al Tawasin, translated by Gilani, Anna Al-Haqq Reconsidered, (New Delhi, Kitab Bhavah, 1994), hal. 3
[7] Annemarie Schimmel, loc. Cit : hal: 93-97
[8] Menurut Iqbal, ketika seorang individu menghancurkan pembatasan ruang dan waktu yang berurutan dan memperhatikan dirinya sendiri, maka ia akan menemukan suatu kesadaran mobilitas murni dalam intuisi langsung. Pada maqam ini ia mampu mengamati sumber gerak dan perubahan di alam semesta, dan dalam pengalaman ini dia menemukan kategori tertinggirealitas. Muhammad Iqbal, Metafisika Persia, Penerjemah Joebaar Ayoeb (Bandung: Penerbit Mizan, 1999, hal. 22).
[9] Di sini kadang penulis bertanya-tanya, apakah Iqbal itu senderung ke arah “Agama Cinta” atau “Agama Universal yang lebih mementingkan isi daripada bentuk. Seperti dalam tradisi sufisme mereka sering mengatakan memeluk “Agama Cinta. Salah satu contoh adalah Ibnu Arabi dan Rummi memproklamirkan bahwa tidak ada agama yang lebih suci dari “Agama Cinta”. Cinta adalah esensi dari semua kredo. “Agama Cinta” atau  “Agama Universal” diungkapkan secara jelas baik oleh Rummi maupun Ibnu Arabi, seperti yang tertera dalam syair-syair di bawah ini:

I.            Jangan tanya apa agama ku
bukan  Yahudi
bukan Zoroaster
bukan pula Islam

Karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
begitu anda memberikan arti yang lain
dari pada makna yang hidup dihatiku

                                          ( Jalaluddin Rummi)

II.         Hatiku telah mampu untuk setiap bentuk
dialah padang bagi sebuah kijang dan sebuah
biara bagi Nasrani
Dialah pula bagi berhala dan Ka’bah bagi berhaji
Dialah lembar dari Taurat dan Kitab Qur’an yang suci

Kemanapun onta-onta cinta itu berangkat
kesana jualah agama dan imanku melekat

(Ibnu Arabi)

Lihat  R.A. Nicholson, Mystics of Islam (London): G. Bell and LTD, 1914), hal. 105.

[10] Syed Abdul Vahid, Studies in Iqbal, Lahore: Asraf Press, 1967), hal 148.
[11] Ada dua sastrawan yang banyak mempengaruhi Iqbal yaitu Mirza Abdul Qadir Beidil dan Asadullah Khan Ghalib, Iqbal menggambarkan Ghalib sebagai Ghote dari Tumur. Hafeez Malik Iqbal Poet and Philosopher. (Colombia: University Press, 1971), hal. 214
[12] Syed Abdul Vahid, op. Cit., hal. 150
[13] Ibid, hal. 68.
[14] Nama dan nasib Hallaj yang tragis telah tersebar di sudut-sudut paling  jauh dunia Islam. Di Jawa  personifikasi nasib Al-Hallaj tergambar dalam serat-serat tertentu, seperti Syeh Amongrogo dalam Serat Centini yang dihukum mati dilempar ke laut selatan karena mengajarkan ma’rifat di depan umum dan menentang Sultan Agung. Sunan Panggung dihukum bakar tercermin dalam serat kanda. Ki Bebeluk juga dihukum mati, Haji Ahmad Mutamakin di dalam serat Cabolek, meskipun tokoh ini tidak sampai dihukum mati tapi diampuni oleh raja Mangkurat IV dan Pakubuwono ke II. Syeh Siti jenar yang akhirnya dihukum mati karena mengaku dirinya Tuhan. S. Subardi, The Book of Cabilek (The Haque, Martinus Nijhoff, 1975), hal. 35-45.
[15] Lima tahun setelah Niedtsche meninggal Iqbal pergi ke Eropa dan belajar filsafat Barat. Niedtsche yang telah kesunyian dan telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan , dan memusnahkan Tuhan, rupa-rupanya telah menemukan Zarathustra sebagai gantinya. Berkat Niedtsche maka Imago Zarathustra yang sudah dibenam dalam sejarah kuno Persia kini dibangkitkan kembali dengan gairah luar biasa kuatnya. Walter Kaufmann, Existensialisme from Dostoevsky to Sartre (New American Library,1975), hal. 132. Fuad Hasan, Perkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1873), hal. 28.
[16] Syeh Abdul Vahid, op. cit., hal. 151
[17] Annemaric Schimmel, op. cit., hal 65.
[18] Ibid, Panteisme adalah suatu istilah baru yang diperkenalkan tahun 1709 M oleh Irish Deist, John Toland dalam karyanya yang berjudul: Socianianism Truly Stated, yang menjadi ciri pokok dari Panteisme bukan Tuhan Immanent dalam makhluknya, akan tetapi bahwa dengan sadar atau tidak sadar konsep Ada secara Univok diterapkan baik kepada Tuhan maupun terhadap ciptaanNya. Ungkapan “Manusia tersebar dalam hakekat Tuhan” hanya dapat dibenarkan, bila ada univositas. Lihat The New Encyclopedia, Britannica, vol 13 (1973), hal. 948-949. Lihat P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawulo GustiPatheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, terjemahan Dick Hartoko (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hal. 12.
[19] Annemaric Schimmel, loc. cit.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hal. 45
[23] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran dalam Islam, Alih Bahasa Ali Audah dkk, (Jakarta: Tintamas: hal. 96-97.
[24] Ibid, hal. 109
[25] William James, The Varieties of Religious Experience, (London: Collin, 1961), hal 299-300.
[26] P.J. Zoetmulder, Pantheisme & Monisme in de Javaansche Soeeloek – Literatour,  Terjemahan  Dick Hartoko, Manunggaling Kawulo Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, (Jakarta : Gramedia, 1990), hal, 34