Kamis, 10 Maret 2011

AL HALLAJ DALAM KARYA JAVID NAMA
Oleh: Muzairi

A.    Tasauf dalam Islam

Pada abad ke-8 dan ke-9 tasawuf mulai dinyatakan sebagai suatu sistem ajaran, ialah dalam tulisan-tulisan Rabiah Al-Adawiyah dari Basra, seorang penyair sufi yang meninggalkan karya tulis. Ajarannya menitikberatkan pada dokrin mahabbah untuk mencapai makrifat.[1]
Tasawuf adalah ajaran mistik yang disesuaikan dengan ajaran islam.[2] Dalam filsafat agama, penghayatan mistik dipandang  sebagai salah satu sumber untuk menumbuhkan keyakinan agama, di samping kesadaran akan adanya kejadian-kejadian yang luar biasa. Ditinjau dari segi filsafat, mistik merupakan upaya yang mencerminkan hasrat jiwa manusia yang ingin mengenal dan mendapatkan kesadaran langsung dari kebenaran mutlak dan dari yang transenden.[3] Kerinduan akan penghayatan langsung terhadap Kebenaran Hakiki muncul sewaktu orang menyadari bahwa segala kelezatan hidup duniawi dirasakan sangat relatif, tidak dapat memenuhi tuntutan untuk meraih kehidupan yang hakiki serta kekal. Di samping itu penghayatan mistik juga muncul kalau seseorang  merasa tidak puas dengan pengertian-pengertian konseptual tentang Tuhan seperti yang dianutnya dan oleh kepercayaan tradisional yang diwariskan oleh masyarakat.
Pada satu aspek pertumbuhan dan perkembangan tasawuf bisa dipandang sebagai reaksi dari perkembangan pemikiran Isalm yang rasional, sebagai pemanfaatan pengaruh filsafat Yunani, yang pada taraf awalnya memunculkan ilmu kalam dalam Islam, dan membawa masuk ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, astronomi, ilmu kimia dan lain-lainnya. Perkembangan ini ternyata membawa dampak, bahwa umat lalu kurang memperhatikan aspek emosional dan membawa perhatian masyarakat kepada arus keduniaan dan menyebabkan mundurnya nilai-nilai moeal mereka. Reaksi terhadap fenomena ini pertama-tama diungkapkan oleh Hasan Basri (abad ke-8), yang membangkitkan kembali hidup zuhud (asketik), kemudian dilanjutkan dengan ajaran Ibrahim, Ibn Adham. Ajaran yang sudah mengarah kepada paham tasawuf ini kemudian disusun  dalam doktrin mahabbah oleh Rabiah Al-Adawiyah, seperti telah diungkapkan  di depan, dan kemudian disempurnakan Haris bin Asad Al-Muhasibi (wafat tahun 857 atau sudah masuk dalam abad  ke-9.[4] Adawiyah membagi doktrin mahabbah atau ajaran untuk mencintai Tuhan secara mutlak dalam dua babak. Cinta tingkat pertama untuk membukakan dimensi baru dalam ibadah  kepada Allah, yaitu ibadah yang semata-mata karena cinta kepada Tuhan, bukan karena mengharapkan pahalanya atau menghindari siksanya, atau bukan karena raja’ atau khauf. Cinta tingkat kedua adalah rindu bertemu dengan wajah Tuhan, sebagai kekasihnya. Dengan cinta tahap kedua ini diharapkan Tuhan membukakan hijab atau tabirnya hingga betul-betul dapat melihat wajahnya, bukan melihat dengan  mata akan tetapi melihat dengan mata hatinya atau kasyf. Ajaran ini betul-betul mengarah kepada sikap yang ekstrim emosional dan ruhaniah. Oleh Abu Yazid Al-Bistami (abad ke-9) ajaran ini dikembangkan menjadipaham ittihad (kesamaan dan kesatuan manusia dengan Tuhan) ajaran yang sudah mulai cenderung kepada paham panteisme[5] dengan ucapannya”laisa fi jubbati illa Allah” yang artinya “yang ada di dalam jubahku ini tidak lain adalah Allah”. Paham ini dipandang memuncak dalam ajaran Al-Hallay (abad ke-10), yang terang-terangan mengungkapkan “Anna Al-Hagg” yang artinya “Saya adalah Tuhan”.[6]
Timbulnya pendapat-pendapat atau ajaran baru ini menyebabkan kegoncangan karena berlawanan dengan ajaran tauhid seperti yang digariskan dalam Al-Qur’an.
Upaya untuk membentuk keselarasan pengamalan tasawuf dengan syariat telah dilakukan oleh Al-Gazali dan berhasil menyelamatkan tasawuf sebagai suatu aliran dalam Islam, sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam pada saat itu. Tulisan Al-Gazali berjudul “Ihya ulumuddin” merupakan buah pikirannya yang nyata dapat membedakan berbagai perbedaan pendapat mengenai  tasawuf, yang hampir memecah belah persatuan umat Islam. Kehidupan Al-Gazali pada abad ke-11 dan 12, (meninggal tahun 1111).[7]
Pada abad ke-12 muncul lagi perkembangan tasawuf yang dibawakan oleh Ibn Al-Farabi (1165-1240), seorang ahli filsafat dan penyair sufi, kelahiran Mursia. Ajarannya dipandang panteistis, karena memandang Tuhan sebagai Dzat yang bersatu dengan alam, dan Tuhan juga sebagai Dhat yang tertinggi. Pengaruh ajarannya besar sekali di kalangan para sufi hingga dia diberi gelar Asy-Syaikh Al-Akbar.
Perkembangan tasawuf selanjutnya diwarnai oleh pemikiran yang timbul dikalangan sufi dari Persi. Pada dasarnya mereka mengembangkan ajaran Ibn Al-Arabi (Nicholson, 1952:228). Diantara sufi dari Persi yang terkenal adalah Jalaluddin Ar-Rumi yang menulisklan paham tasawufnya dalam karangannya berjudul “Mathnawi I Ma’nawi”. Bagi para pengikutnya, ialah pengikut tarikat Maulawiyah yang didirikannya.


B.     Al-Hallaj dalam Karya Javid Nama

Bait-bait awal dalam Javid Nama menyinggung tentang kehidupan di planet-planet lain. Kesunyian sang penyair dalam hidupnya di dunia wadag ini, dan potensi manusia (yang hanya berasal dari segenggam debu) untuk mencapai tujuannya dan melebihi seluruh ciptaan. Kemudian Rummi muncul, dan menerangkan relasi kehidupan dan kematian, serta menerangkan iqbal tentang ruang dan waktu serta cara mengatasi keduanya.[8] Kemudian ditemani oleh gurunya Iqbal naik ke bulan di bulan ini mendengarkan musik dan bertemu dengan orang bijak dari India yaitu Vashwamitna, antara Rummi dengan Vashwamitna terjadi diskusi tentang alam, manusia dan Tuhan.
Dari bulan kemudian ke lembah Tawasin yang di dalamnya ada empat bagian, tawasin Budha, Zoroaster, Yesus dan Muhammad, di lembah tersebut memungkinkan Iqbal menyatakan pandangannya terhadap ajaran-ajaran mereka.[9] Kemudian ke Mercurius bertemu dengan dua ruh pemikir Islam yaitu Said  Shalim Pasha seorang dari Turki dan Jamaluddin Afghani, Said Shalim Pasha menerangkan kepada Iqbal tentang perbedaan pandangan hidup Barat dan Timur dan menurutnya  keselamatan manusia terletak pada kemampuannya dalam memadukan antara peradaban Barat dan Timur.[10] (di Barat intelek sebagai sumber hidup, di Timur cinta sebagai dasar hidup). Sedangkan Jamaluddin Afghani menerangkan pentingnya suatu tatanan dunia lama yang berlandaskan kepada Al-Qur’an, serta bahaya kominisme dan imperialisme.[11]
Di Venus Iqbal bertemu dengan para dewa pagan kuno, seperti Baal, sedang merayakan kebangkitan penyembahan berhala di dunia modern. Acara ini dihadiri oleh para Lord Kitchener dan Firaun yang menentang Musa, yang dianggap wakil-wakil pemujaan berhala kuno dan modern.
Dalam perjalanan selanjutnya, Iqbal bersama gurunya sampai ke Mars, dia bertemu dengan astronom berbahasa Persia dan mengajak mereka ke lembah Milad, suatu lembah yang digambarkan “tata tentram karta raharja, gemah ripah loh jinawi”. Disamping itu mereka bertemu dengan seorang nabi perempuan palsu. Perjalanan selanjutnya ke Yupiter bertemu dengan setan, dengan roh Mansur Al-Hallaj, Ashadula Khan Ghalib.[12] Seorang sastrawan dari Persia dengan  Qurrotul Ain Tahiro ketiganya adalah roh suci, meskipun terbilang suci ketiga roh itu tidak tinggal di surga, mereka lebih suka mengembara, Iqbal bertanya:
Kenapa tuan-tuan tidak tinggal di surga bersama mukmin yang lain ? tanya Iqbal ! “Manusia bebas seperti kami”, jawab salah satunya, “tak mungkin ruh nya ditempatkan di surga Surga para Kiai adalah anggur, surga para mullah ialah makan, tidur dan bernyanyi, surga kami merenungi hidup ini”.[13]
Roh yang menjawab pertanyaan Iqbal adalah roh Al-Hallaj, sufi terkenal yang dihukum mati di Baghdad semasa pemerintahan Al-Muqtadir di abad X Masehi. Ia dipersalahkan telah mengajarkan pengertian-pengertian fana fillah dan anal haq di hadapan umum.[14]
Perjalanan sang penyair sampai ke Saturnus di sini Iqbal melihat para roh pengkhianat seperti Sirajul Daula, Sodiq, dari Saturnus singgah di lembah Empirin. Di lembah itu pertama-tama yang dijumpai adalah roh Niedtsche sang filosof eksistensialis dari Jerman.[15] Iqbal melihat Niedtsche yang sedang kesepian. Namun Iqbal melihatnya sebagai orang bijak pencari kebenaran yang bersemangat, yang nasib buruknya lahir di zaman modern dan bukan masa para nabi. Setelah berjumpa dengan Niedtsche terus ke surga, dunia tanpa apa-apa, di surga Iqbal bertemu dengan Sharfun Nisa keponakan Abdus Somad seorang gubernur Punjab.[16] Kemudian Iqbal bertemu dengan Sayed Ali Hamdani seorang suci dari Kasmir dan Tahir Gani seorang penyair dari Kasmir juga, bertemu dengan roh Bhartrihari, Nadirshah dari Persia dan para Perawan Surga. Akhirnya Iqbal sampai puncahnya ketika perjalanan berakhir dengan terserapnya keagungan dan keindahan Illahi dalam kontemplasi.
Suatu ungkapan yang cukup unik oleh Iqbal, bahwa al-Hallaj sebagai roh suci  yang tidak tinggal di surga menunjukkan penilaian tertentu Iqbal terhadap Al-Hallaj dan nampaknya Iqbal tertarik oleh nasib Al-Hallaj, sejak namanya pertama-tama terungkap dalam sumber-sumber Arab.[17] Setelah sarjana Inggris Edward Pocock (1691), yang menaruh perhatian padanya adalah seorang ahli teolog Protestan dariJerman F.A.D. Tholuck, sarjana itu menyebut Al-Hallaj “sufi yang paling terkenal karena ketenaran dan nasibnya”, yang menguak cadar Pantheisme di depan umum dengan keberanian yang luar biasa.
Tholuck menganggap Al-Hallaj seorang panteis; hal itu menjadi pandangan para sarjana abad ke-19, dan sampai taraf tertentu masih menjadi pandangan yang diterima oleh sejumlah  ahli teologi.[18] Beberapa diantara mereka menuduh Al-Hallaj menghujat Tuhan, sedangkan yang lainnya menuduh Al-Hallaj seorang Kristen rahasia. Pandangan terakhir ini muncul pada  akhir abad ke-19, diajukan oleh August Muller dan tetap diikuti oleh beberapa Sarjana. Para orientalis lain, berdasarkan sumber-sumber yang ada, cenderung menyebutkan seorang berpenyakit syaraf atau seorang monis murni. Alfred Von Kremer berusaha mencari sumber ungkapan Al-Hallaj yang terkenal “Annal Hagg” dalam sumber-sumber India, dan Max Horten membandingkan pernyataan mistik itu dengan Aham Brahasmi dalam Upanisad,[19] dan beberapa sarjana lain menyetujuinya. Max Shreiner dan Duncan Black Macdonald menganggap Al-Hallaj seorang ateis sejati, sedangkan Reynold A. Nicholson mempunyai pandangan yang  bertentangan, yakni menekankan monotheisme keras dan hubungannya yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam pemikiran Al-Hallaj.[20] Akhirnya Adam Mez melihat kemungkinan adanya hubungan antara sufi agung dengan teolog kristen.
Berkat kerja keras Louis Massignon, lingkungan dan pengaruh-pengaruh atas Al-Hallaj telah dijelajahi sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih baik di barat. Di dunia Arab, tempat Al-Hallaj tidak begitu dikenal  seperti di daerah-daerah yang dipengaruhi oleh tradisi mistik Parsi, akhir-akhir ini ia mendapat perhatian. Filosof ‘Abdur-Rahman Badawi menyamakan pengalaman Mansur dengan Kierkegaard, dan menganggapnya seorang eksistensislis murni. Para penyair seperti Adonis di Lebanon dan ‘Abdul Wahhab Al-Bayati di Irak telah menulis dengan cermat rahasia kepribadiannya; dan seorang sosialis  dari Mesir, Salah ‘Abdu’s-Sabur, menulis suatu tragedi Al-Hallaj.
Pada zaman kita ini, timbul suatu minat yang diperbaharui terhadap Hallaj di seluruh dunia Islam, terutama berkat buku menyeluruh yang ditulis massignon. Muhammad Iqbal (.1938), yang dalam masa mudanya menggambarkan Al-Hallaj sebagai Pantheis-seperti yang telah dilihatnya lewat sajaknya, “jangan berbicara tentang Shamkara dan Mansur”.[21] Iqbal juga menggambarkan bahwa pernyataan Anal Haqq dengan “Aham Brahma Asmi”, dan menggambarkan Upanisad serta shamkara termasuk “Misticism of Infinity”[22] dalam arti yang murni.
Akan tetapi pandangan Iqbal berubah setelah bertemu dengan Massignon dan Maulana Alam Jairaypuri, Iqbal melihat di dalam diri Hallaj adanya keterlibatan religius pribadi yang mendalam, dan menganggapnya salah seorang  diantara beberapa orang saja yang mencapai pengalaman Illahi yang lebih tinggi dari pada rakyat biasa. Ia melihat bahwa Al-Hallaj telah mengajak para muslim yang terlena agar secara pribadi menyadari kebenaran, dan karenanya bertentangan dengan penguasa agama yang khawatir akan adanya saksi yang bersemangat akan Tuhan yang sebenar-benarnya.
Kemudian pandangan tersebut diperjelas oleh Iqbal ketika ia memberikan ceramahnya di Madras pada tahun 1928, ia mengatakan sebagai berikut:
Aliran sufi sajalah yang mencoba memahami arti pernyataan pengalaman batin, yang disebutkan Qur’an sebagai salah satu dari tiga sumber pengetahuan, dengan sejarah dan alam sebagai kedua sumber lainnya. Pengembangan pengalaman ini dalam kehidupan agama Islam mencapai puncaknya di dalam kata-kata Al-Hallaj yang terkenal “Akulah kebenaran yang kreatif”. Orang-orang yang sejaman dengan Hallaj, sebagaimana juga penggantinya menafsirkan kata-kata ini secara Pantheistik; tetapi fragmen-fragmen dari karya Al-Hallaj, yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh orientalis Perancis Massignon memberikan kesan yang tak dapat diragukan lagi bahwa shahid dan orang suci ini tidak mungkin membantah bahwa Tuhan adalah transenden, karena itu, penafsiran yang benar ialah bahwa pengalaman bukan ibarat tetesan yang jatuh  ke lautan, tetapi adalah realisasi dan peneguhan yang diucapkan dalam sebuah kalimat abadi, mengenal realitas dan tetapnya ego manusia di dalam suatu pribadi yang  lebih mendalam. Kalimat Al-Hallaj itu hampir-hampir merupakan tantangan keras terhadap kaum Mutakallimin. Kesukaran yang dihadapi orang-orang yang mempelajari agama secara modern adalah bahwa macam pengalaman ini, walaupun mungkin pada mulanya cukup normal, dalam fasenya yang matang merujuk kepada tingkatan kesadaran yang belum diketahui. Ratusan tahun yang lalu Ibnu Khaldun telah merasakan pentingnya suatu cara ilmiah yang efektif untuk meneliti tingkatan-tingkatan ini.[23]
Konon Napoleon pernah berkata-“Aku adalah benda bukan person”, ini adalah suatu cara dimana pengalaman yang mempersatukan dapat menyatakan dirinya. Dalam pengalaman ‘religius dalam Islam menurut Nabi, merupakan penciptaan sifat-sifat uluhiat dalam diri manusia’. Pengalaman ini telah menemukan pernyataan dalam kalimat-kalaimat semacam ‘Aku adalah kebenaran kreatif (Al-Hallaj), ‘Akulah Waktu’ (Muhammad), ‘Akulah Qur’an yang berkata-kata (Ali), ’Muliakanlah Daku’ (Ba Yazid). Di dalam sufisme Islam yang bertingkat lebih tinggi pengalaman yang mempersatukan itu bukanlah ego-terbatas yang mengatasi identitasnya sendiri dengan semacam peleburan ke dalam ego tak terbatas, melainkan yang tak terbataslah yang  masuk ke dalam pelukan kasih sayang yang terbatas.[24]
Al-Hallaj, seperti yang dikatakan Hans Heinrich  Schoder dalam resensinya atas buku Massignon, adalah Syuhada dalam par exellence karena ia merupakan contoh kemungkinan-kemungkinan terdalam dari kesalehan pribadi yang ada dalam agama Islam. Ia menunjukkan akibat cinta semprna dan makna kesummarahan pada penyatuan kekasih Illahi tidak dengan maksud mendapatkan kesucian pribadi macam apapun tetapi agar bisa mengkotbahkan rahasia ini, hidup di dalamnya dan mati untuknya.
Ungkapan tersebut di atas memberi pegangan bahwa di dalam tradisi tasawuf kadang-kadang orang tidak dihadapkan dengan teori-teori filsafat, akan tetapi bertemu dengan pernyataan-pernyataan yang langsung atau tidak langsung dengan penghayatan mistik (Mystical Experience).
Penghayatan mistik pada dasarnya adalah irrasional dan mengutamakan perasaan atau penghayatan (zauq, rahsa). Penghayatan mistik sewaktu mengalami ecstasy (fana’) ini menurut Willian James dalam The Varieties of Religious Experience[25]  ditandai dengan empat ciri. Pertama transiency (waqtiyah). Yakni penghayatan ectasy (fana’) itu hanya berlangsung sementara waktu, antara setengah sampai dua jam paling lama. Jadi manusia bisa menghayati kesatuan dengan Tuhan hanya sebentar, kemudian sadar kembali dan merasa sebagai makhluk yang lemah. Yang kedua passivity (salbiyah). Yakni pada waktu fana’ itu para sufi merasa dikuasai dan digerakkan oleh kekuatan dari atas, kehendaknya jadi lenyap atau harus dihentikan bahkan dalam puncak penghayatan mistik kesadaran kediriannya terhisap dalam kesadaran serba Tuhan. Yakni mengalami fana’ al-fana’. Yang ketiga, noetic quality (al-qimat al-tajridiyah). Dalam arti “They are states of insight into depths of truth unplumbed by the discursive intelect” yaitu merekamerasa menghayati hakekat yang mendalam yak tak dicampuri penalaran (intelek). Oleh karena itu ciri yang keempat adalah innefability (al-isti’sha’u ala al-washfi). Yakni sulit tak sisifati (diterangkan dengan rumusan kata-kata).
Seperti kata Ali Al-Hujwiri, juga ulama sufi yang dilakukan dan dikatakan seorang sufi tak bisa ditafsirkan secara dangkal. Hakekat kenyataan yang dihayati sang sufi “tak mungkin diungkapkan dalam bahasa yang biasa”. Setidak-tidaknya percobaan untuk itu tak menampilkan makna yang dimaksud  dan karena itu dapat  menimbulkan salah paham. Atau seperti yang dikatakan Iqbal sendiri, bahwa pengalaman religius adalah tidak dapat dikomunikasikan tidaklah berarti bahwa pencarian manusia religius sia-sia. Sesungguhnya sifat tidak dapat dikomunikasikan  itu memberikan kita kunci untuk membuka kodrat azasi ego.


C. PENUTUP

Memang ada gunanya membahas dan membicarakan Al-Hallaj terutama ungkapan Ana Al-Haqq yang dapat dikutip oleh setiap orang yang terpelajar tidak hanya di pusat agama Islam melainkan juga di daerah perbatasannya, yakni di Indonesia. Namun masih ada alasan lain mengapa tokoh ini pantas dibahas dalam sebuah telaah seperti ini, yaitu kemungkinan a priori bahwa riwayat hidup dan ajarannya lebih banyak berpengaruh terhadap Islam di Indonesia dari pada di tempat lain.[26]
Tidaklah di zaman ini diperlukan dialektik antara kecenderungan “gerakan masa” dengan kecenderungan yang sehat dari Sufisme yang menekankan makna “pribadi” dalam hubungan kita dengan Tuhan. ?
Setidak-tidaknya karena di depanNya kita tidak mempertanggungjawabkan secara massal. “Kamu akan datang kepada Kami : satu-satu” seperti “Kami ciptakan kamu dahulu” (Al-Qur’an)




[1] Lihat Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (Caphel Hill University of North Caroline Press, 1975), hal. 23-30.
[2] Ibid. hal 3-5
[3] Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York: Barnes & Nobel Books, 1977) hal: 181.
[4] Hamka, Perkembangan Tasauf Dari Abad ke Abad (Jakarta, Pustaka Islam, 1966). hal. 66-74
[5] Ibid, hal. 91-93
[6] Husain bin Mansur Hallaj, Kitab Al Tawasin, translated by Gilani, Anna Al-Haqq Reconsidered, (New Delhi, Kitab Bhavah, 1994), hal. 3
[7] Annemarie Schimmel, loc. Cit : hal: 93-97
[8] Menurut Iqbal, ketika seorang individu menghancurkan pembatasan ruang dan waktu yang berurutan dan memperhatikan dirinya sendiri, maka ia akan menemukan suatu kesadaran mobilitas murni dalam intuisi langsung. Pada maqam ini ia mampu mengamati sumber gerak dan perubahan di alam semesta, dan dalam pengalaman ini dia menemukan kategori tertinggirealitas. Muhammad Iqbal, Metafisika Persia, Penerjemah Joebaar Ayoeb (Bandung: Penerbit Mizan, 1999, hal. 22).
[9] Di sini kadang penulis bertanya-tanya, apakah Iqbal itu senderung ke arah “Agama Cinta” atau “Agama Universal yang lebih mementingkan isi daripada bentuk. Seperti dalam tradisi sufisme mereka sering mengatakan memeluk “Agama Cinta. Salah satu contoh adalah Ibnu Arabi dan Rummi memproklamirkan bahwa tidak ada agama yang lebih suci dari “Agama Cinta”. Cinta adalah esensi dari semua kredo. “Agama Cinta” atau  “Agama Universal” diungkapkan secara jelas baik oleh Rummi maupun Ibnu Arabi, seperti yang tertera dalam syair-syair di bawah ini:

I.            Jangan tanya apa agama ku
bukan  Yahudi
bukan Zoroaster
bukan pula Islam

Karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
begitu anda memberikan arti yang lain
dari pada makna yang hidup dihatiku

                                          ( Jalaluddin Rummi)

II.         Hatiku telah mampu untuk setiap bentuk
dialah padang bagi sebuah kijang dan sebuah
biara bagi Nasrani
Dialah pula bagi berhala dan Ka’bah bagi berhaji
Dialah lembar dari Taurat dan Kitab Qur’an yang suci

Kemanapun onta-onta cinta itu berangkat
kesana jualah agama dan imanku melekat

(Ibnu Arabi)

Lihat  R.A. Nicholson, Mystics of Islam (London): G. Bell and LTD, 1914), hal. 105.

[10] Syed Abdul Vahid, Studies in Iqbal, Lahore: Asraf Press, 1967), hal 148.
[11] Ada dua sastrawan yang banyak mempengaruhi Iqbal yaitu Mirza Abdul Qadir Beidil dan Asadullah Khan Ghalib, Iqbal menggambarkan Ghalib sebagai Ghote dari Tumur. Hafeez Malik Iqbal Poet and Philosopher. (Colombia: University Press, 1971), hal. 214
[12] Syed Abdul Vahid, op. Cit., hal. 150
[13] Ibid, hal. 68.
[14] Nama dan nasib Hallaj yang tragis telah tersebar di sudut-sudut paling  jauh dunia Islam. Di Jawa  personifikasi nasib Al-Hallaj tergambar dalam serat-serat tertentu, seperti Syeh Amongrogo dalam Serat Centini yang dihukum mati dilempar ke laut selatan karena mengajarkan ma’rifat di depan umum dan menentang Sultan Agung. Sunan Panggung dihukum bakar tercermin dalam serat kanda. Ki Bebeluk juga dihukum mati, Haji Ahmad Mutamakin di dalam serat Cabolek, meskipun tokoh ini tidak sampai dihukum mati tapi diampuni oleh raja Mangkurat IV dan Pakubuwono ke II. Syeh Siti jenar yang akhirnya dihukum mati karena mengaku dirinya Tuhan. S. Subardi, The Book of Cabilek (The Haque, Martinus Nijhoff, 1975), hal. 35-45.
[15] Lima tahun setelah Niedtsche meninggal Iqbal pergi ke Eropa dan belajar filsafat Barat. Niedtsche yang telah kesunyian dan telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan , dan memusnahkan Tuhan, rupa-rupanya telah menemukan Zarathustra sebagai gantinya. Berkat Niedtsche maka Imago Zarathustra yang sudah dibenam dalam sejarah kuno Persia kini dibangkitkan kembali dengan gairah luar biasa kuatnya. Walter Kaufmann, Existensialisme from Dostoevsky to Sartre (New American Library,1975), hal. 132. Fuad Hasan, Perkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1873), hal. 28.
[16] Syeh Abdul Vahid, op. cit., hal. 151
[17] Annemaric Schimmel, op. cit., hal 65.
[18] Ibid, Panteisme adalah suatu istilah baru yang diperkenalkan tahun 1709 M oleh Irish Deist, John Toland dalam karyanya yang berjudul: Socianianism Truly Stated, yang menjadi ciri pokok dari Panteisme bukan Tuhan Immanent dalam makhluknya, akan tetapi bahwa dengan sadar atau tidak sadar konsep Ada secara Univok diterapkan baik kepada Tuhan maupun terhadap ciptaanNya. Ungkapan “Manusia tersebar dalam hakekat Tuhan” hanya dapat dibenarkan, bila ada univositas. Lihat The New Encyclopedia, Britannica, vol 13 (1973), hal. 948-949. Lihat P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawulo GustiPatheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, terjemahan Dick Hartoko (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hal. 12.
[19] Annemaric Schimmel, loc. cit.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hal. 45
[23] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran dalam Islam, Alih Bahasa Ali Audah dkk, (Jakarta: Tintamas: hal. 96-97.
[24] Ibid, hal. 109
[25] William James, The Varieties of Religious Experience, (London: Collin, 1961), hal 299-300.
[26] P.J. Zoetmulder, Pantheisme & Monisme in de Javaansche Soeeloek – Literatour,  Terjemahan  Dick Hartoko, Manunggaling Kawulo Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, (Jakarta : Gramedia, 1990), hal, 34

Minggu, 27 Februari 2011

AJARAN JALAN MENUJU “KESEMPURNAAN” HIDUP DALAM PUSTAKA CENTINI

Oleh : Muzairi
PENDAHULUAN:
Tulisan ini ditekankan pada Pustaka Centhini. Melalui kajian perpustaan dicoba untuk menemukan pandangan mistik tentang apa yang dimaksud dengan “kesempurnaan hidup” dan susunan empat jalan (sareat, tarekat, hakekat dan makrifat).
Susunan 4 jalan menuju hidup sempurna dalam Pustaka Centhini bukanlah satu unsur baru dalam literatur Jawa.[1] Dalam Primbon Jawa, yang berasal dari abad 16, problem 3 tingkat kehidupan mistik telah menemukan satu tempat penting. Didalam Primbon ini kita temukan satu deskripsi singkat tetapi sistematis dari masing-masing 3 tingkatan mistik: syari’at, tarikat dan hakekat [2] serta bagaimana masing-masing dari tingkat-tingkat ini dapat dicapai secara sukses dengan menunjukkan kepada Ihya Ulumu al-Din sebagai sumber pegangan. Desebutkan secara tandas di dalam “perimbon” bahwa: “orang yang mengatakan bahwa syari’at berbeda dengan hakekat, atau bahwa ilmu lahir (ilmu dhahir) berbeda dengan ilmu bathin adalah kafir.[3]
Syari’ah dipandang sebagai kebaikan yang tertinggi bagi orang yang memandang dari kejauhan, sedang hakekat adalah kebaikan yang tertinggi orang yang memandang dari dekat. Kalimat selanjutnya mengutip satu perkataan dari Hadis Nabi:
Syari’at adalah ucapanku, tarekat adalah tindakanku dan hakekat adalah pundak dari tindakan-tindakanku.[4]
Alasannya mengapa ketiga konsep syari’at tarekat dan hakekat dibandingkan dengan dengan tindakan Nabi sebab syari’at memberikan ajaran tentang hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan rohani dan hakekat tentang hal-hal yang berkenaan dengan rahasia hidup yang rahasia (batining batin).
Perlu dicatat, bahwa problem dari 4 tingkatan jalan mistik dibicarakan secara panjang lebar oleh Hamzah Fansuri dari Aceh abad 16, khususnya di dalam bukunya Sharab al-Ashikin (minuman bagi para pecinta Tuhan)[5] yang di dalamnya dia mengatakan sikapnya yang ortodox formil sebagai mistik panthristi[6] yakni bahwa syari’at harus selalu dijunjung tinggi. Hamzah Fansuri juga mengajarkan bahwa empat tingkatan itu saling bergantung, dan di dalam  Sharab al-Ashikinnya dia menggambarkan hubungan diantara mereka dengan secara metaphor yang menarik, seperti di bawah ini:
“siapa yang memagari dirinya dengan syari’at tidak akan pernah terbujuk oleh syetan. Siapapun yang berpendapat bahwa syari’at itu kurang penting, atau siapapun yang berpendapat bahwa syari’at itu  kurang penting, atau siapapun yang merendahkannya, dia menjadi kafir, kita memohon perlindungan Allah daripadanya: karena syari’at tidak berbeda dengan tarekat, tarekat tidak berbeda dengan hakekat, dan hakekat tidak berbeda dengan ma’rifat: ini seperti sebuah kapal. Syari’at adalah dindingnya, tarekat adalah geladaknya, hakekat adalah muatannya dan marifat adalah keuntungannya. Jika dindingnya dibuang, kapal tersebut akan tenggelam dan jika kapal itu tenggelam dagangan dan modalnya hilang selamanya, dan menurut hukum hal ini berbahaya”.[7]
Dalam karyanya yang lain oleh pengarang yang sama, Asrar al-Arifin (rahasia orang-orang yang arif), ditemukan lagi satu metaphor yang menarik, yang menggambarkan saling bergantungnya ke-empat tingkat jenjang mistik. Seperti halnya Hamzah Fansuri mempercayai bahwa syari’at adalah penting dan membentuk satu yang terintegrasi dari empat jalan mistik, dengan demikian kepercayaan yang sama dapat diketemukan di dalam teks-teks keagamaan Jawa dari abad 16 keatas, khususnya di dalam buku Primbon tersebut di atas. Dan di dalam buku Centhini kepercayaan tersebut disiarkan lewat Seh Among Raga.

A.  PUSTAKA CENTHINI

Pustaka Centhini yang diterbitkan, bukanlah versi yang asli. Ini adalah hasil penulisan kembali dan penambahan yang dilakukan oleh pengarang-pengarang, mungkin atas perintah Putera Mahkota Surakarta, yang kemudian menjadi Paku Buwono V (1820-1823 AD). Masing-masing pengarang mungkin diberi tugas untuk menuliskan topik yang paling diketahuinya. Ada 3 pengarang utama dari Kitab Centhini yang diterbitkan:
a.         Kyahi Yasdipura II (putera dari Pujangga I Surakarta, R. Ng. Yasdipura I).
b.        Kyahi Ronggosutrasno
c.         R. Ngabehi Sastrodipuro, yang kemudian berubah nama menjadi Ahmad Ilhar setelah Haji.[8]
Pustaka Centhini yang pertama terdiri atas 12 jilid, rata-rata 350 halaman folio tulisan tangan  huruf Jawa. Seluruhnya memuat 12 X 350 halaman= 4.200 halaman folio.[9] Diantara kitab-kitab dalam  kepustakaan Indonesia boleh dikatakan bahwa Pustaka Centhini itulah yang terbesar, dan juga terlengkap isinya dan pula terunik wujudnya. Akibat dari tebalnya, maka jarang sekali diantara para pembaca/peminat yang telah dapat membaca Pustaka Centhini seluruhnya. Pada umumnya mereka hanya suka membaca jilid-jilid dari pustaka tersebut yang sesuai dengan kegemarannya.
Di dalam Centhini Suryasurajan disebutkan dalam tembang sinom, bait permulaan berbunyi demikian:
Sri narpatmaja sudibya
Talatahing nuswa Jawi
Surakarta Adiningrat
Agnya ring kang wadu carik
Sutrasna kang kinanthi
Mangun reh cariteng dangu
Sanggyaning kawruh Jawa
Tinengran seret Centhini
Kang minongko dadyo lajering carito
Sang Putra mahkota jaya
Di wilayah Pulau jawa
Surakarta Adiningrat
Memerintahkan kepada hambanya juru tulis
sutrasna yang dipercaya
mengubah cerita lama
semua pengetahuan Jawa
dimenakan kitab Centhini
yang menjadi isi pokok cerita.[10]

Di dalam satu “pada” ini tercantum beberapa keterangan tentang Pustaka Centhini, yakni: Perkataan “Sri Narpatmaja”, berarti Pangeran Adipati Anom, ini menunjukkan bahwa nama tembang pertama di dalam Pustaka Centhini ialah “Sinom”. Beliau adalah Putera Mahkota Kerajaan Surakarta (pada masa itu tahun 1814 M) yang ungguh. Beliau memberi perintah kepada pegawai carik (penulis) bernama Sutrasna agar menyususn sebuah pustaka yang mencantumkan segala macam ilmu pengetahuan di Jawa sejak dahulu hingga pada masa itu. Pustaka itu diberi nama “Serat Centhini”.
Ki Sumidi Adisasmita menggolongkan pustaka Centhini ke dalam apa yang disebut Serat Ensiklopedi Jawa.[11]
Akan tetapi Ensiklopedi Jawi di sini berbeda dengan kamus yang merupakan daftar kata-kata beserta pengolahannya, dan berbeda juga dengan Ensiklopedia pada umumnya yang merupakan daftar subyek yang disertai keterangan-keterangan tentang definisi, latar belakang dan bibliografi menurut daftar abjad dari A sampai Z.
Apa yang dimaksud pengertian Ensiklopedia model Centhini, Ki Sumidi Adisasmita menjelaskan sebagai berikut:
Serat Centhini puniko kalebet golonganing Serat Ensiklopedi Jawi ingkang ngewrat sadoyo kawruh, ngelmu, carios, dongeng, wiridan, wejangan, peguron, padhepokan, basa, kasusastran lan sapiturutipon ingkang sesambedan kaliyan kawontenanipon Tanah Jawi Bangso jawi serta Kebudayanipun Bangsa Jawi wiwit jaman kino dumugi jamanipun Sinuwon P.B. V ing Surakarta tahun 1823 (M).

Ing Bangso Walandi isinipun Serat Centhini puniko kenging kegerbo dados “Encyclopedie over Land, Tael, en Volkerkundee van Java”.

Ananging Encyclopedie model Centhini puniko bedo aturanipun kalian Encyclopedie umum kadosto Encyclopedie winkler Prins lan sanes-sanesipun ingkang sapiturutipun dumugi X-Y-Z.

Dene Encyclopedie  model Centhini puniko isinipun wedharaken  miturut urutabing lelampahan/carios tiang-tiang ingkang kocap wonten ing salebet ing pratowo puniko.

Tiang-tiang ingkang main wonten ing “panggung” Centhini wau wonten ingkang yektos historis, wonten ingkang boten yektos historis, ananging gadhah sipat/trep/tepat kalian candra-jiwanipun utawi pedamelanipun.[12]

Jadi apa yang disebut Encyclopedie model Centhini seperti apa yang diungkapkan oleh Ki Sumidi Adisasmita terbatas sekali baik dari sudut isi maupun ruang lingkupnya, yaitu di sekitar Jawa saja. Hal ini tidaklah aneh, karena di dalam Serat Centhini tidak memuat keterangan yang panjang dan detail baik dari segi sastra, sejarah, adat istiadat maupun filsafat dan agama. Semua materi tidak disusun secara alphabetis.
Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa Serat Centhini aslinya termasuk sastra suluk, intinya penjelasan untuk mencapai “kesempurnaan hidup”. Sumber penulisan Pustaka Centhini dari perpaduan berbagai sumber, sumber dari dunia kraton, dunia pedesaan, dunia pesantren[13], tradisi Jawa yang kemudian diramu menjadi satu kesatuan di bawah naungan team editor dengan ketuanya putera mahkota yaitu Pangeran Adipati Anom.

B. AJARAN JALAN MENUJU KESEMPURNAAN HIDUP

Dalam pustaka Centhini suatu kitab kesusasteraan  Jawa yang terbesar yang ditulis oleh pujangga-pujangga kraton Surakarta pada perempat awal abad 19, atas perintah Paku Buwono V (1820-1823 M) banyak dipengaruhi oleh  faham tasauf tentang jenjang pengalaman ilmu kebatinan, yaitu sareat, tarekat, hakekat dan ma’rifat.[14] Jelas di dalamnya ada unsur-unsur ajaran tasauf seperti yang terdapat dalam Ihya’ Ulumud-Din, Insan al Kamil  dan  Hidayat al-Adhiya’ila Thariq al-auliya’.
Saretat adalah tahap yang paling mulia, yaitu menghormati dan hidup sesuai dengan hukum agama; menjalankan kewajiban dengan sungguh-sungguh; menghargai dan menghormati orang tua, guru, peimpin dan raja; mematuhi aturan masyarakat, dan menjaga keselarasannya, serta mengakui tatanan kosmos. Dengan kesadaran bahwa menghormati orang tua, guru pimpinan dan raja berarti menghormati Tuhan serta mengakui ada-Nya.
Ilmu Seh Amongraga tentang agama Islam digambarkan penulis-penulis jauh lebih tinggi dari pada ilmu yang dimiliki oleh Ki bayi Panurta, tambangraras atau jayengraga yang kesemuanya adalah pemimpin agama dan sangat dihormati oleh masyarakat santri di desa Wanamarta.[15]
Seh Amongraga dilukiskan mula-mula sebagai seorang ulama yang taat dan saleh dalam menjalankan sareat agama sebagaimana diperintahkan oleh agama Islam. Di Wanamarta dia dikagumi oleh seluruh masyarakat santri karena kemampuannya menjalankan ibadat, membaca al-Qur’an dan hadits dan karena telah menjadi imam yang bijaksana. Tidak hanya digambarkan sebagai guru agama yang taat menjalankan sembahyang lima kali sehari tetapi juga sebagai contoh yang menarik bagi para santri karena mengamalkan sembahyang sunnah dan dzikir.[16]
Pada saat yang sama ia juga digambarkan sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ajaran Islam yang berhubungan dengan ketiga ilmu pokok tentang Islam, yakni Ilm Al-Fiqh, Ushul al-Din,  dan Tasawuf  atau Sufisme.
Dalam diskusinya mengenai masalah-masalah agama Kyai Bayi Panurta dan tentang ajarannya kepada isterinya, Ken Tambangraras, Seh Amongraga membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan semua ilmu tersebut di atas. Penyajian masing-masing topik ini dibawakan secara sederhana sekali dan dengan cara yang tidak teratur.
Selanjutnya Seh Amongraga sebagai guru dan ulama memberikan penjelasan tentang pentingnya sareat yang dikaitkan dengan ajaran rukun Iman. Penjelasan atau wejangan tentang sareat itu dalam upaya memberikan bimbingan manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup. Bahwa sareat itu adalah pengabdian hamba terhadap Tuhan dengan tulus ikhlas, selalu menyebut isbat dan nafi percaya bahwa Tuhan itu transenden, percaya bahwa baik dan buruknya itu berasal dari padaNya dan Dia lah yang berhak atas segala puji dan sembah.[17]
Nampaknya apa yang dijelaskan oleh Seh Amongraga seperti tersebut di atas memang tidak sistematis, hal-hal yang bersifat sareat dihubungkan dengan rukun Iman. Wejangan Seh Amongrogo yang menjelaskan tentang baik dan buruk berasal dari Tuhan (untunge becik lan olo saking ta’ala kang darbeni), merupakan masalah rukun Iman keenam, yaitu keimanan kepada takdir baik dan buruk.
Demikian juga Seh Amongrogo ketika berdiskusi dengan Kyai Buyut Bagendo tak lupa menjelaskan tentang pentingnya sareat yang berkaitan dengan  hakekat (kesejatian), kesejatian sunat. Dalam penjelasan itu Seh Amongraga menekankan bahwa di dalam agama itu ada perintah sareat, ada sunat, perintah yang tidak berobah-obah yang disebut dengan sareat itu harus dilandasi dengan kesejatian atau hakekat. Sareat itu harus ditaati sebab akan mempunyai faedah yang besar sekali.
Dan seorang yang menjalankan kewajiban sareat kelak akan mendapatkan ganjaran di akhirat. Wejangan dan penjelasan Seh Amongraga tersebut tercermin dalam bait-bait 13-20 sebagai berikut:
13.     tegesipon kang perloe poeniko singgih
langgeng kadjatenja
kang langgeng tan kena gingsir
arane reke sarengat
14.     Pinangeran tan keni lengganeng pesti
Anglakani amar
Agoeng paedahe singgih
Ingkang teko ing tegesnja

15.     jekoe bakal kang tampi gandjaran bendjing
sesampoene ika
tegese lampah sadjati
apan sajekti salat

16.     sadoeroenge telas lampahe poeniki
tana oekoem baja
ni njai amoewoes aris
kang soenat paran tegesnja

17.     Amongraga alon anoeri aris
kang soenat tegesnja
margane langgeng poeniki
dene ia anarira

18.     jen waoes tekeng paraning lakoe poeniki
tanda jen toek sawab
padang paningalireki
ja awas djatining lampah

19.     ni bok nja woewoesira malih
soenat perloe ika
apa kena jeng tinoenggil
aneng ing lemah poenika

20.     Amongraga saoeria roem amanis
Pasti lamoen kena
Kang sampoen toemekeng djati
Lan jen telas lakoeneke[18]

Bagi Seh Amongraga apa yang disebut sareat itu adalah sareatnya Nabi yang sudah dipercaya yang bersumber dari dalil-dalail al-Qur’an dan Sunnah nabi dan Ijma dan Kias. Sareat yang berasal dari keempat sumber tersebut menurut pandangan Seh Amongraga adalah yang dapat dipercaya dan yang utama.
Sudah menjadi kesempatan umat Islam bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad S.S.W yang dinukilkan dengan  jalan hukum Islam yang pertama sudah  jelas dan tegas, sedangkan sunnah menduduki urutan ke-dua setelah al-Qur’an. Ijma menduduki urutan ke- tiga serta kias menduduki urutan keempat. Wejangan Seh Amongraga yang berkaitan dengan sumber-sumber sareat atau hukum Islam tersebut tercermin dalam bait-bait sebagai berikut:
1.      nenggih basa kang poenikoe
sarak sarengating nabi
Moehammaddinilmoestopa
wasalalahoe ngalehi
moektamad daliling koer’an
ing kadis lawan koedesi

2.      idjemak kias lan koesoes
paedah koermat ing widi
poenika kedah santosa
ling-aling gendolan dalil
kang moekarab ngelmoe sarak
aplaloe ingkang oetami.[19]

Setelah Seh Amongraga memberi wejangan yang berkaitan dengan sumber-sumber sareat Islam, kemudian dia memberi wejangan antara sareat dan tarikat, hakekat dan ma’rifat.[20]. yaitu bahwa hakekat dan ma’rifat itu harus disertai sareat. Ilmu  hakekat kalau tidak disertai dengan sareat dapat berbahaya, dan dapat membelokkan jalan yang lurus.
Ilmu hakekat itu adalah ilmu tingkat tinggi yang tidak sembarangan orang dapat memahami dan menjalankan dengan baik. Hal ini menurut Seh Amongraga disebabkan adanya tingkatan-tingkatan pemahaman agama di kalangan orang-orang mukmin itu sendiri. Tingkat itu menurut Seh Amongragaada dua, yaitu orang-orang mukmin a’am yakni mukmin yang sudah khawas. Bagi orang-orang yang masih pada tingkatan a’am atau mukmin kebanyakan  mereka belum mampu untuk memahami apa yang terserat di  dalam rahasia-rahasia agama.[21]
Bagi mukmin yang sudah khawas menurut penjelasan Seh Amongraga sudah dapat memahami apa yang tersirat dibalik rahasia-rahasia agama dan mereka itu selalu komtemplasi dan meditasi kepada Tuhan dan selalu ta’at dan selalu berbakti kepada Tuhan.
Seh Amongraga berkata kepada Kyai Bayi Panutra dan kedua puteranya, bahwa perbuatan  yang utama itu ditandai oleh tiga hal, yaitu kemantapan sifat, af’al dan zat.[22] Semua yang hidup ini tak lain adalah cahaya yang berujud. Segala ciptaan atau makhluk hidup tak lain adalah wujud Allah (tan ana woedjoed kalian amoeng woedjoeding Hjang widi). Oleh karena itu perlu ada tekad terakhir, yaitu sareat dan makrifat.  Jalan kearah ilmu itu harus diserati dengan tekad yang mantap sesuai dengan janji yang tertuang dalam sareat.
Sareat harus dijalankan baik yang wajib maupun yang sunnah yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan Kias, dan dalam makrifat terletak tekad keikhlasan hati yang dalam ibadahnya hanya ditujukan kepada Allah bukan karena hal-hal yang bersifat lahiriyah atau mencari kemulyaan semata.[23] Itulah tanda-tanda bagi orang-orang yang akan berhasil. Semua yang mendengar wejangan yang diberikan Seh Amongraga merasa  puas.
Dengan demikian apa yang diwejangkan oleh tokoh Seh Amongraga kepada keluarga Kyai Bayi Panurta[24] masih dalam pengertian-pengertian yang bersifat eksotoris meskipun  secara perlahan-lahan dibawa oleh Seh itu ke-arah pemahaman yang bersifat esotoris.
Wejangan-wejangan tersebut terdapat dalam  bait 70-75.
70.     dening tekad poepoengkasan
pan inggih kalih prekawis
sarengat lawan makripat
manoet tekdiring kang elmi
ing tekad kedah tawadjoeh
kang santosa ngibadah
soemoengkem ing perloe wadjib
anglampahi tjegah pakoning sarengat

71.     poenapa djangdjining sarak
ajwa kangsi anggengampil
poeroen-poeroen kerja wenang
nglong-longi hoekoem kang wadjib
poengkasan moeng sawidji
tan kenging pot salatipoen
amoeng sawidji rahab
ing waktoe perloe lan wadjib
jata doroeng ing kitab kelawan koe’an

72.     ngrasehken idjemak kias
sera sedya angantepi
den toh djiwa den angrasa
wirang jen tan anglampahi
dene kang kaping kalih
makripating tekadipoen
kedah eklas ambirat
ing misil kerana lahir
tan nitedoeli ingkang kipajah kal donja

73.     den kiragaken sedaja
sembahjang ngadji tan soedi
tan kadereng nandang boekti
tan kepengin kemoektin
nendra radjah tamah nginoem
tan predoeli sedaja
pan amoeng dating Hjang Widi
kang kaesti madjenoen moenggoeh ing Allah

74.     poenika tekad kang tama
tjangtjalan tjetjalon dadi
ing kasidan pinardika
kang angga saengga kitri
moejek toemroena adi
tan ana leng-olengipoen
besert wohe ngajangan
poenika ingkang soepami
salah satoenggile ajwa apepeka

75.     ki Baji angling nor raga
inggih kesinggihan oegi
tyas koela sangsaja padang
nerawang datan kalempit
roemaos tekad sisip
ing elmoe koela kang waoe
mengke waoes angsal berkah
winoenglang djatining elmi
inggih moegi kinoewatna dening Allah[25]
      
Setelah wejangan-wejangan yang disampaikan oleh Seh Amingraga kepada ketiga tokoh agama tersebut sampai subuh, kemudian dilanjutkan dengan shalat bersama-sama sebagai imamnya Seh Amingragamengerjakan shalat sunnat terlebih dahulu. Kemudian memasuki shalat subuh, membaca takbir kemudian do’a iftitah, al-Fatikhah dilanjutkan dengan surat al-Kautsar.
Kemudian Seh Amingraga memberi wejangan terhadap isterinya tentang sareat dan tarekat. Menurut tokoh Seh Amingraga bahwa sareat bersama tarekat merupakan tempat bagi suatu (wadah sekelir), sedangkan hakekat dan makrifat adalah wiji Nugraha (benih anugrah Tuhan). Menurut dia, jika biji tersebut tidak disimpan di dalam tempat yang bagus, tentu nugraha Tuhan tidak akan berhasil. Dia mengharap orang untuk selalu waspada dan tawadhu’, tenang tidak congkak akan ilmu makrifatnya[26] Sareat harus dipegang dan tidak boleh ditinggalkan. Wejangan Seh Amingraga ternyata ada kesamaan dengan apa yang diwejangkan kepada Jayengwestri dan Jayengraga tentang pentingnya ilmu hakekat yang harus dilandasi dengan sareat.
Wejangan-wejangan Seh Amingraga terhadap istrinya tercantum dalam bait 22-29.
21.     angandika Seh Mongraga aris
mrih kang raji ia jaji sira
den narima satitahe
moenggoeh ing bab kang perloe
ingaoerip tekaboel ngelmi
ngelmoe kang woes moektamad
ing sarak jeng Rasoel
oelah inglehi salam
aminihi moengmoeroek ing sira jaji
sira neboeta sadat

22.     ndyan woes ahli ja sira jadi
doeroeng esah jen tan lakindra
kang amoelang ahline
wadjibe amoemoeroek
pan katenpoeh ing donja akir
ingelmoe lan nipekah
samja perloenipoen
sadat wadjibing wanadya
ia sadat Patimah ingkah linoewih
jaji pasoeken ing tyas

23.     ajwa doemeh remeh ikoe jaji
wadjib angoedjap ashadoe an la
ilaha ilalah dene
soen ngawroehi satoeboe
tan ana Pangeran kekalih
nanging Allah kang esa
kang toenggal poenikoe
dadeken alam sadaja
was ashadoe anna Patimah tin djokril
karimi imra atal

24.     noeboewatin binti Moehammadin
salalahoe ngalaihi wasalam
dewi Patimah ikoe
lintang djohar ingkang moeljadi
kang dadi ratoening dyah
kang adjahja mantjoer
kang potro djeng nabi kita
Moehammad dinil salalahoe ngalehi
Wasalam ngalaeka

25.     jwa pepeka kang djatmika ngelmi
djatmikaning elmoe ikoe sarak
ia sarengat jektine
lawan tarekatipoen
pan minongka wadah sekalir
dene elmoe hakekat
lan makripatipoen
minangka widji noegraha
widji jen tan toemanem wewadah betjik
boengkik noegrahanira

26.     moelane  jaji dan ngati-ati
sarengatira koedoe santosa
asareh akeh pedahe
ajwa langgar ingelmoe
jen pepretjet ambilaehi
moeroengaken kasidan
dene langgar ikoe
hakikat tinggal sarengat
ikoe akeh langgar pengrasane oewis
angkasa badan moelja
27.     Solah tingkah moena lawan moeni
Adja salat ta pan oewis salat
Mengkono sepadane
Ikoe jaji den-amoet
Jen maniro tan ana bedjing
Sira kariawirja
Lamoen ana tjatoer
Kang mengkono ikoe oega
Watak ladak keselak tjalak ketjelik
Tjeloek-tjelok ing setan

28.     singa kang den-lakoni tan dadi
doedoe dedalane daliloelah
kang moepid Moehammad raseh
ta dalil lawan madloel
kadis koedoe lawan koedisi
idjemak lawan kias
kisas lawan koesoes
ikoe oengering sarengat
lapal makna moerad rasa den-kalingking
ikoe anli oetama

Setelah memberikan wejangan-wejangan seperti tersebut di atas, kemudian Seh Amongraga menambah wejangan kepada istrinya, dua perkara yang tidak boleh dilupakan. Yang pertama takwa kepada Allah dan yang kedua selalu berbakti kepada suaminya. Takwa kepada Allah dengan berbuat baik kepada sesama, selalu membaca al-Qur’an, menjalankan shalat baik wajib maupun yang sunnah, seperti shalat malam dan selalu tafakur kepada Allah.
Menurut Amongraga hakekat adalah tahap yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan melalui pengetahuan yang sempurna dengan cara berdo’a terus menerus, menyebut asma Tuhan dan mencintai-Nya, mengenali Tuhan dan dirinya sendiri, acuh terhadap kesenangan dan kesusahan.
Senang susah, kaya miskin, nyaman sakit semua itu merupakan wujud Tuhan, berasal dari Tuhan, segala sesuatu milik Tuhan, dan kembali kepada-Nya manusia hanya meminjam saja. Tahap ini disebut tahap keadaan mati dalam hidup, dan hidup dalam mati, maknanya yang mati di sini adalah nafsunya. Saat tercapainya tingkatan hakikat dilukiskan terjadi dalam suasana yang terang benderang dan dalam rasa yang lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti itu tampaknya sejati atau yang disebut pula Nur Illahi.
Makrifat adalah tahap terakhir atau tertinggi yaitu tahap manusia telah “menyatukan dirinya dengan Illahi”, tahap manusia telah mencapai “manunggaling kawula Gusti[27] “manunggaling kawula hamba dengan Tuhan”. Dalam tahap ini jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta, tindakan manusia semata-mata menjadi laku, ‘jalan’. Pada tahap ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka-duka dunia, berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia indah dan damai; menjadi “wakil Tuhan” di dunia dan menjalankan kewajiban-kewajibanNya; memberi inspirasi kepada manusia yang lain.dapat dikatakan semua uraian yang berkaitan dengan cipta dasar tersebut dalam Pustaka Centhini disampaikan dengan bahasa simbol. Penggunaan konsepsi “manunggaling Kawula Gusti, “kemanunggalan hamba dengan Tuhan” dalam sastra suluk pun merupakan simbol.
Ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin itu, maka yang akan ia lihat hanyalah Allah’. Melimpahi setiap bagian tubuh dengan berkas cahaya yang menyilaukan.
Untuk komunikasi rohaniyah dengan Tuhan, kaum sufi membedakan tiga jenis organ, yaitu qalbu, untuk mengetahui Tuhan, ruh, untuk mencintai-Nya dan sirr untuk merenungi-Nya.[28] Qalbu memiliki kemampuan untuk memiliki esensi segala sesuatu. Dan apabila disinari oleh iman dan pengetahuan, maka akan tergambarkan keseluruhan  kandungan fikiran keilahian.
Untuk siap menerima illuminasi dari Allah, qalbu harus suci sesuci-sucinya, kosong sekosong-kosongnya, tidak berisi apa-apa. Ia merupakan cermin yang dapat memantulkan setiap kualitas keilahian. Tetapi sebagaimana dengan besi, apabila cermin dilapisi karet maka ia akan kehilangan kemampuannya untuk memantulkan. Sehingga perasaan rohaniah, yang oleh para sufi disebut sebagai mata hati akan buta terhadap keindahan surgawi hingga kegelapan yang menyelimuti fenomena diri, dengan segala kotoran perasaannya, sepenuhnya dapat dibersihkan.
Di dalam Pustaka Centhini wejangan Seh Amongraga berhubungan dengan hakekat dan ma’rifat adalah merupakan kelanjutan dari wejangan yang terdahulu (sareat dan tarikat), yang dalam hal ini telah dijelaskan bahwa sareat dan tarekat merupakan wadah sakelir dan hakekat bersama ma’rifat sebagai wiji nugraha. Dengan ini pula Seh Amongraga menekankan bahwa untuk mencapai hidup yang sempurna dan mati yang sempurna orang harus memegangi secara teguh prinsip-prinsip hidup yang terdiri dari empat jalan tersebut (sareat, bersama, tarikat dan hakikat bersama ma’rifat).[29]
Kemudian Seh Amongraga menjelaskan kepada istrinya, bahwa puncak dari ilmu sareat adalah niat untuk melakukan ibadah (poepose ngelmi sarengat niat koedoe anglakoni), puncak dari tarekat adalah tercapainya/iman yang mutlak (poepose ngelmoe tarekat koedoe koesoes angjektani), dan puncak dari hakekat adalah untuk mengetahui Wujud Tuhan (poesoesing hakekatti koedoe temen sarto tahoe angjektani kenjataan), dan puncak dari pengetahuan ma’rifat adalah kerinduan akan gnosis dan mabuk bersatu dengan-Nya tanpa lupa diri (poepoesing ma’rifat jaji koedoe makloem serta soekoer tan pepeko).[30]

C.  FIGUR SEH AMONGRAGA SEBAGAI SEORANG PANTHEIS

Dari keterangan tersebut di atas dapat dilihat suatu wejangan dan penyajian secara pandangan Jawa tentang interdependensi yang pokok dari 4 tingkatan dan jalan mistik. Hal ini juga menunjukkan bahwa menurut pandangan Seh Amongraga bahwa satu tingkat hendaknya tidak dianggap berbeda dengan lainnya. Namun tersirat juga dalam wejangan tersebut di atas, bahwa kesempurnaan tingkat dan jalan empat tersebut ada perbedaannya meskipun antara yang satu dengan yang lainnya saling tergantung. Kemudian Seh Amongraga mewejangkan lebih lanjut, bahwa manusia hidup itu perlu untuk mencari ilmu yang empat sebagai landasan prinsip-prinsip hidup (sareat, tarekat, hakekat dan ma’rifat), dan harus dilaksanakan dengan jujur dan selalu berhati-hati di dalam menjalankan hidup.[31]
Akan tetapi peranan figur Seh Amongraga pada tahap terakhir dari perjalanannya, tidak digambarkan sebagai seorang yang mengajarkan ketaatan kepada sareat. Sebaliknya, dia digambarkan sebagai seorang yang sedang mencari kekuatan ghaib dan merencanakan untuk membalas dendam pada raja Mataram, Sultan Agung atas kesalahan ayahnya dan atas kesalahan diri. Nyatanya Seh Amongraga menjadi seorang Jawa yang menyimpang (bi’ah) yang menghancurkan dan melanggar agama seorang pantheist yang menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Karena  kepercayaan bid’ahnya, dia dihukum mati dengan dilemparkan ke laut Selatan dan ini dilakukan oleh Tumenggung Wiraguna atas perintah Sultan Agung.
Dengan demikian di bagian terakhir dari buku Centhini yang sekarang ini, Seh Amongraga diberi peranan yang bertentangan dengan peranan yang digambarkan di bagian depan perjalanannya. Peran Seh Amongraga sebagai seorang mistik yang menyiarkan ‘Ilmu Sejati’ dan akhirnya dihukum mati, adalah sangat mirip dengan cerita Syeh Siti Jenar dan Sunan Panggung, dua tokoh terkenal  dalam tradisi mistik Jawa.[32] Seperti halnya Seh Amongraga, mereka juga dihukum karena mengajarkan ajaran mistik heterodox diantara masyarakat yang awam.
Syeh Siti Jenar, yang dalam hikayat Syeh Siti Jenar dihubungkan dengan kerajaan lama dari Giri, mengajarkan ajaran mistik heterodox yang dipusatkan pada pengenalan identitas manusia dengan Tuhan (sebagai kenyataan mutlak). Ketika dia muncul di muka pertemuan (sidang) para wali dia ditanya oleh Sunan Giri mengapa dia tidak pernah pergi sembahyang Jum’at seperti diperintahkan oleh ajaran syari’at Nabi Muhammad. Dia menjawab dengan mengatakan bahwa dalam kenyataannya tidak ada sesuatu kecuali Tuhan. Syeh Siti Jenar dihukum mati dengan pedang, karena dia membuka rahasia ilmu bathin kepada masyarakat yang awam.
Jika pelaksanaan hukuman mati Syeh Siti Jenar dilakukan pada masa Kerajaan Giri, Sunan Panggung, yang dibakar sampai mati karena melanggar syari’at dihubungkan dengan Kerajaan Demak.



DAFTAR BACAAN

A.    Pustaka Centhini
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Serat Centhini, Jilid I-II. Betawi, 1912.
-------, Serat Tjentini, Jilid III – IV. Betawi, 1913.
-------, Serat Tjentini, Jilid V – VI. Betawi, 1914.
-------, Serat Tjentini, Jilid VI – VIII. Betawi 1915.

K. Sumidi Adisasmita, Mawas Serat Centhini, Jilid I – XII, seklebatan, di Indonesiakan oleh Drs. Darusuprapta, Pustaka Centhini Ikhtisar Seluruhnya. Yogyakarta: UP Indonesia, 1973.

Mangunwidjaya, Pathi Centhini. Solo : Satu Budi, 1931.

Mas Ranggasutrasna, Suluk She Amongraga. Tanpa data publikasi.

Proyek Penerbitan sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, She Amongraga, Jakarta: 1981.

R.M.A. Sumahatmaka, Ringkasan Centhini (Suluk Tambangraras). Jakarta: PN balai Pustaka, 1981.

R. Tohari, Kupasan Serat Tjentini. Jakarta: Bharata, 1967.

Yayasan Centhini, Serat Centhini Latin, Jilid I – VI. Yogyakarta: t.n.p., 1988.


B.     Pustaka Lainnya

1).   Abdullah, Ciptoprawira, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

2).   G.W.J. drawes, The Admonition of She Bari. The Hague Martinus Nijhoff, 1969.

3).   H. Karkono, Serat Senthini Relevansinya dengan masa Kini. Yogyakarta: Yayasan Centhini, 1986.

4).   Muhammad, Iqbal,  The Reconstruction of Religius Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavana, 1981.

5).   Wiji Sukasno, “Islam Menurut Wejangan Walisanga”, Al-Jami’ah, No. 5, 1968.
6).   A.E. Affifi, The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, Cambridge: The University Press, 1933.

7).   Al-Didjali, An-Inquiry Into The True Relationship Between Sufism and Islam, Disertasi (tidak diterbitkan). California Institute of Asian Studies, 1974.

8).   Annemarie, Schimmel, Mystical Dimension of Islam, Chapel Hill : Un The University of North California Press, 1981.

9).   Harun Nasution, falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

10). Peter A., Angeles, Dictionary of Philosophy, London : Barnes & Nobles Books, 1977.

11). Poerbatjaraka, R.Ng., Kepustakaan Djawi, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1954.

12). Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsito,  Jakarta: UI-Press, 1988.

13). S. Soebardi, The Book of Cabolek, The Hague Martinus Nijhaff-1975.







[1] Lihat Serat Centhini jilid I, II hal. 195, pupuh 24-27

[2] Para ahmi mistik dalam berbagai tradisi keagamaan cenderung menggemborkan langkah-langkah yang membawa kepada hadirat Tuhan sebagai “Jalan”. Pembagian tiga dalam agama Kristen menjadi via purgativa via contem platia, dan via illuminativa dalam arti tertentu sama dengan batasan dalam agama Islam menjadi shariat, tarikat, dan hakikat. Annemarie Schimmel, Mystical Di Mensions of Islam. Terj. Sapardi Djoko Damono, dkk(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hal. 101.

[3] S. Soebardi, “Unsur-unsur Agama Kaum Santri Yang tercermin Dalam Kitab Senthini”, Al-Jami’ah No. 22 Th. XV, (1980), hal. 91-104.

[4] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, The University of North Caroline Press; 1981, hal. 102.

[5] Seh Muhammad Naquib Al-Attas, The Musticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), hal. 301 – 310. lihat, Abdullah Cipto Pawiro, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal. 64 – 65.

[6] Perlu dicatat di sini bahwa istilah Panteis atau Panteisme adalah suatu istilah baru yang diperkenalkan oleh  Irish Deist dan John Tolond pada tahun 1709. The New Encyclopedia Britennica, vol. 13, (New York: William Benton Publisher, 1973), hal. 948 – 949).

[7] S. Soebardi, op.cit

[8] Sumahatmaka, Ringkasan Centhini (Suluk Tembang Laras), alih bahasa Sudibyo dan Hadisucipto, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1981), hal. 7

[9] Ki Sumidi Adisasmita, Pustaka Centhini Selayang Pandang, (Yogyakarta:  UP. Indonesia, 1974), hal. 12

[10] Ki Sumidi Adisasmita, Pustaka Centhini Ikhtisar Seluruhnya, alih bahasa Drs. Darusuprapta (Yogyakarta, PU Indonesia, 1979), hal. 9

[11] Ki Sumidi Adisasmita, Serat Centhini (keterangan warna-warni) (Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono, 1971), hal. 40-41.

[12]Ibid

[13]Induk Serat Centhini yang berasal dari pesisir bernama Kitab Jatiswara. Kitab ini kemudian dikarang lagi, diuraikan panjang lebar menjadi Centhini ini. H. Karkono Kamajaya PK. Op.cit,  hal. 15

[14]Serat Centhini Jilid I, II, hal. 195 – 196.

[15]R. Soebardi, Loc. Cit.

[16]Di dalam Centhini hubungan zikir dengan pengaturan pernapasan sangatlah erat. Baik dalam Pustaka Centhini maupun dalam wirid Hidayat Jati ada pembagian napas yaitu, napas, tanapas, anapas dan nufus. Dalam Serat Centhini terdapat pada Dandang Gula, Pupuh Lima.

Napas anpas tanapas noepoesi
Patang prekara kang mandjing medal
Liningling-lingling raose
Ingarah benerupoen
Ing parenge tibane oeni
Lamodjoede ilalah
Mot sanapas landoeng
Noelja dikir napi isbat
Woes angingkoed ing tjipta tingalireki
Satoes klimah sanapas

Serat Centhini, Jilid I, II, hal. 193. Lihat Simuh, Op. Cit. hal. 351.

[17]R. Tohari, Kupasan Inti Serat Tjenthini , (Jakarta: Penerbit Bharata, 1967),    hal. 54.

[18]Serat Tjenthini., Jilid I – II, hal. 46 – 47.

[19]Ibid., hal. 9

[20]Subatmako, Op. Cit.. hal. 52 – 53.

[21]Ibid
.
[22]Serat Tjenthini, I – II, hal. 115.

[23]R.M. Soewandi, Falsafah Centhini (Selo: Sadu Budi 1931), hal. 27 – 29.

[24]Serat Tjenthini Jilid I – II, hal. 195 – 196.

[25]Disamping itu Amongraga juga memberikan wejangan terhadap isterinya tentang penyempurnaan shalat yang terdiri dari pencucian tubuh, lisan dan hati. Serat Centhini, Jilid I – II, hal. 196.

[26]Seh Amongraga menyadarkan isterinya bahwa manunggaling kawula gusti itu sulit dimengerti dan mahal, hal ini perlu kau sadari yayi, tiada gusti, tiada kawulo, ya gusti sekaligus kawula, gusti yang bersifat kawula, dan kawulo yang bersifat gusti. Mohal yayi,  bagaimana, dua jadi satu yang goib, tiada satu tiada pisah, tiada dua tiada satu, tiada sulit tapi juga tidak mudah dimengerti, dua menjadi satu, bisa sulit bisa mudah dimengerti Wujud Tuhan juga Wujud kita. Hal ini terungkap dalam  pupuh 47 – 48.

47.   Woejoed makal djatineko
Boso makal ikoe jaji
Patemon kacela goesti
Ikoe makal namanira
Datan goesti tan kaoela
Ja goesti ia kaoela
Goesti kang sipat kaoela
Kaoela kang sipat goesti

48. jaji ia ikoe makal
gaibing roroning toenggal
nora toenggal nora pisah
tan kekalih tan sadjoega
nora awoeh nora gampang
loro-loroning atoenggal
ia ewoeh ia gampang
ananing Hjang waedjoed kita.

 Serat Centhini, Jilid III – IV, hal. 28

[27]Harun Nasution, falsafat dan Mistisisme dalam Islam  (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hal, 77.

[28]Serat Centhini Jilid I, II, hal. 196 – 197.

[29]Ibid.  Jilid III – IV, hal. 83.

[30]Ibid.

[31]Ibid.  hal. 44

[32]Soebadi, Op. Cit